Merdeka.com - Pengadilan Tinggi Singapura mulai 16 Maret 1965
menggelar sidang terhadap Usman bin Haji Muhammad Ali dan Harun bin Said
alias Tahir Mandar. Hakim J. Chua mendakwa keduanya dengan pasal
pembunuhan karena tindakan mereka meledakkan bom di gedung MacDonald
House di Orchard Road telah menewaskan tiga orang. Mereka diadili
menggunakan Undang-undang Darurat 1964.
Namun menurut pengacara
keduanya, Le Quesne, beleid dipakai tidak sesuai konstitusi Malaysia.
Saat itu Singapura sudah menjadi bagian dari Federasi Malaysia. Dia juga
memprotes kurangnya penyelidikan awal terhadap kasus pengeboman itu,
kliennya tidak boleh mengajukan bebas dengan jaminan, dan sidang hanya
dipimpin satu hakim. "Pengadilan ini tidak sesuai konstitusi, jadi tidak
sah," kata Le Quesne.
Bukan cuma itu yang menjadi keberatan
kuasa asal Prancis ini. Le Quesne menegaskan Usman dan Harun seharusnya
berstatus sebagai tawanan perang. Mereka mesti diperlakukan sesuai
Konvensi Jenewa 1949. Sebab ketika itu Malaysia dan Indonesia sedang
terlibat konflik bersenjata.
Le Quesne menyatakan tindakan Usman
dan Harun memasang bahan peledak adalah perbuatan sah dalam perang.
"Jadi mereka tidak bisa diadili dengan pasal pembunuhan," ujarnya,
seperti tercantum dalam dokumen pengadilan diperoleh merdeka.com.
Sejak
sidang perdana, kedua terdakwa bersumpah di depan Hakim J. Chua, mereka
adalah anggota Korps Komando Operasi (KKO) Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Laut. Sehingga mereka meminta kepada hakim untuk memperlakukan
mereka sebagai tawanan perang sesuai Konvensi Jenewa 1949. Parlemen
Malaysia pada 1962 sudah meratifikasi konvensi itu sehingga mereka
terikat dengan hal itu.
Usman juga telah menyerahkan bukti dia
adalah prajurit KKO berpangkat kopral. Usman bersumpah ketika dia dan
Harun diselamatkan di tengah laut, mereka berseragam militer. Dia
menyatakan kartu identitas tentara mereka ditaruh dalam kantong plastik
hilang saat sampan mereka tumpangi tenggelam.
Harun memberikan keterangan serupa. Dia menambahkan komandan melarang dia mengenakan emblem.
Namun
Hakim J. Chua lebih mempercayai keterangan sejumlah saksi, termasuk
nahkoda kapal penumpang tradisional dan kondektur bus. Sehingga dia
berkesimpulan kedua terdakwa tidak pantas ditetapkan sebagai tawanan
perang. "Peledakan di MacDonald House bukan sekadar tindakan sabotase,
tapi juga sama sekali tidak ada hubungannya dengan kebutuhan perang."
Dalam
kesaksiannya, sang nahkoda bersumpah saat menemukan Usman dan Harun di
tengah laut, keduanya tidak mengenakan seragam prajurit. Bahkan salah
seorang bertelanjang dan cuma mengenakan celana panjang berwarna gelap.
Satunya lagi berkaus olahraga dan bercelana panjang.
Kondektur
bus ditumpangi Usman dan Harun setelah meletakkan bahan peledak
menguatkan keterangan nahkoda itu. Dia melihat keduanya berpakaian sipil
saat itu.
Menurut Pembantu Letnan Satu Manoar Nababan, Usman dan Harun termasuk
dalam bagian operasi intelijen. "Jadi harus sudah siap mati jika
tertangkap musuh. Karena sebelumnya sudah diberitahu pimpinan, kalau
kita tidak masuk dalam perjanjian perang internasional seperti tawanan
perang seharusnya," ujar pensiunan prajurit KKO ini. Dia juga ikut dalam
operasi Ganyang Malaysia.
Di luar perdebatan dalam ruang
sidang, status Usman dan Harun terbelah. Rakyat Indonesia meyakini
mereka pahlawan, sedangkan warga Singapura memandang keduanya tero
Selasa, 04 Maret 2014
Teroris atau tawanan perang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar