Recent Posts

Selasa, 04 Maret 2014

Teroris atau tawanan perang

Teroris atau tawanan perang 
Merdeka.com - Pengadilan Tinggi Singapura mulai 16 Maret 1965 menggelar sidang terhadap Usman bin Haji Muhammad Ali dan Harun bin Said alias Tahir Mandar. Hakim J. Chua mendakwa keduanya dengan pasal pembunuhan karena tindakan mereka meledakkan bom di gedung MacDonald House di Orchard Road telah menewaskan tiga orang. Mereka diadili menggunakan Undang-undang Darurat 1964.

Namun menurut pengacara keduanya, Le Quesne, beleid dipakai tidak sesuai konstitusi Malaysia. Saat itu Singapura sudah menjadi bagian dari Federasi Malaysia. Dia juga memprotes kurangnya penyelidikan awal terhadap kasus pengeboman itu, kliennya tidak boleh mengajukan bebas dengan jaminan, dan sidang hanya dipimpin satu hakim. "Pengadilan ini tidak sesuai konstitusi, jadi tidak sah," kata Le Quesne.

Bukan cuma itu yang menjadi keberatan kuasa asal Prancis ini. Le Quesne menegaskan Usman dan Harun seharusnya berstatus sebagai tawanan perang. Mereka mesti diperlakukan sesuai Konvensi Jenewa 1949. Sebab ketika itu Malaysia dan Indonesia sedang terlibat konflik bersenjata.

Le Quesne menyatakan tindakan Usman dan Harun memasang bahan peledak adalah perbuatan sah dalam perang. "Jadi mereka tidak bisa diadili dengan pasal pembunuhan," ujarnya, seperti tercantum dalam dokumen pengadilan diperoleh merdeka.com.

Sejak sidang perdana, kedua terdakwa bersumpah di depan Hakim J. Chua, mereka adalah anggota Korps Komando Operasi (KKO) Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Sehingga mereka meminta kepada hakim untuk memperlakukan mereka sebagai tawanan perang sesuai Konvensi Jenewa 1949. Parlemen Malaysia pada 1962 sudah meratifikasi konvensi itu sehingga mereka terikat dengan hal itu.

Usman juga telah menyerahkan bukti dia adalah prajurit KKO berpangkat kopral. Usman bersumpah ketika dia dan Harun diselamatkan di tengah laut, mereka berseragam militer. Dia menyatakan kartu identitas tentara mereka ditaruh dalam kantong plastik hilang saat sampan mereka tumpangi tenggelam.

Harun memberikan keterangan serupa. Dia menambahkan komandan melarang dia mengenakan emblem.

Namun Hakim J. Chua lebih mempercayai keterangan sejumlah saksi, termasuk nahkoda kapal penumpang tradisional dan kondektur bus. Sehingga dia berkesimpulan kedua terdakwa tidak pantas ditetapkan sebagai tawanan perang. "Peledakan di MacDonald House bukan sekadar tindakan sabotase, tapi juga sama sekali tidak ada hubungannya dengan kebutuhan perang."

Dalam kesaksiannya, sang nahkoda bersumpah saat menemukan Usman dan Harun di tengah laut, keduanya tidak mengenakan seragam prajurit. Bahkan salah seorang bertelanjang dan cuma mengenakan celana panjang berwarna gelap. Satunya lagi berkaus olahraga dan bercelana panjang.

Kondektur bus ditumpangi Usman dan Harun setelah meletakkan bahan peledak menguatkan keterangan nahkoda itu. Dia melihat keduanya berpakaian sipil saat itu.

Menurut Pembantu Letnan Satu Manoar Nababan, Usman dan Harun termasuk dalam bagian operasi intelijen. "Jadi harus sudah siap mati jika tertangkap musuh. Karena sebelumnya sudah diberitahu pimpinan, kalau kita tidak masuk dalam perjanjian perang internasional seperti tawanan perang seharusnya," ujar pensiunan prajurit KKO ini. Dia juga ikut dalam operasi Ganyang Malaysia.

Di luar perdebatan dalam ruang sidang, status Usman dan Harun terbelah. Rakyat Indonesia meyakini mereka pahlawan, sedangkan warga Singapura memandang keduanya tero

0 komentar:

Posting Komentar